Bukan Salah Hotdog

Sumber: https://www.goodreads.com/book/show/38141340-bukan-salah-hujan

Baiklah! Jadi, ceritanya minggu lalu aku mendapat rekomendasi buku dari seorang teman, iya dari Kak Afni. Dia salah satu di antara banyak teman baik yang selalu dengan sukarela meminjamkan buku bacaannya untukku. Judulnya Bukan Salah Hujan karya darah jelita kelahiran Maros, akrab disapa Ummuchan. Novel ini terbitan Grasindo pada tahun 2018 lalu. Aku diminta membaca novel ini sekaligus review. Wah, sesuatu yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Mengingat sampai hari ini aku masih belum banyak membaca sehingga menurutku, aku masih berada pada tataran penikmat, belum sampai pada tataran reviewer. Namun karena agak sedikit dipaksa dan selalu saja ditagih jadi kuberanikan saja melakukannya dengan segenap kemampuan yang ada. Sebelum itu aku ingin mengingatkan bahwa segala yang kutulis di sini hanyalah “kesan” setelah membaca bukunya, hanya menurut pendapat pribadiku semata. Segala anggapan saya yang kurang tepat semoga memang salah dan segala yang cocok semoga memang demikian adanya. Mengingat saya bukan orang yang pernah menyelam lebih dalam di dunia sastra jadi pengetahuan saya tentang hal semacam itu sangat minim.
Semoga tidak salah jika aku menyebut novel ini teenlit. Alasan menyebut itu karena di dalamnya begitu kental dengan nuansa fall in love, pencarian jati diri dan penolakan cinta khas anak remaja seperti yang dialami oleh tokoh Yoga. Yah, meskipun toko Randu dan Rindu dalam cerita ini digambarkan dengan sosok yang telah berumur dewasa, bukan lagi remaja, namun aku masih tetap merasa jika ini adalah teen literature.
Jadi untuk keseluruhan tokoh dalam novel ini antara lain; Nadi, Randu kekasih Rindu, Yoga, Pak Tua orang tua asuh Nadi, Lepaw teman kantor Nadi, Rama dan ayah kandung Nadi yang tidak jelas itu. Menurutku, tak ada tokoh yang kuat dalam novel tersebut, artinya tak ada tokoh utama menurutku. Beberapa tokoh kadang-kadang bergantian bercerita perbabnya sehingga tiba-tiba teringat pada cara penulisan novel IQ84 karya Haruki Murakami, setidaknya itu novel pertama yang kubaca dengan cara penulisan yang agak mirip. Awal-awal membaca novel ini aku sempat bertanya-tanya dalam hati, apa ya yang penulis akan rencanakan. Kadang ada cerita yang tidak selesai, maksudku seharusnya penulis menjelaskan lagi lebih jauh daripada harus menggantung sebuah bagian cerita sebelum beralih ke cerita yang lain. Namun, aku harus bijak menanggapi sesuatu, bisa saja penulis sengaja melakukannya, bisa saja itu adalah akal-akalan atau strategi penulis untuk mengaduk-aduk emosi pembaca. Jadi, kesannya begini, saya merasa ditarik-ulur. Penasaran bagaimana rasanya? Silahkan dibaca bukunya, hehehe.
Ada satu bagian di mana aku merasa risih dan berkata, buat apa ini? Tepatnya pada bagian anniversary Randu dan Rindu. Di sana ada pengulangan cerita meski keduanya bergantian menceritakan bagian cerita itu di babnya masing-masing. Oke, bisa saja penulis mengulang bagian itu, namanya juga kan menceritakan dari sudut pandang yang berbeda antara Randu dan Rindu. Namun menurutku akan lebih baik jika  narasinya tidak diulang sedemikian rupa miripnya dan hampir tak ada yang diubah sampai beberapa paragraf (iya, itu kan maumu, Rudi, maunya penulis beda lagi). Jadi kesannya penulis seperti sudah jenuh dan kubayangkan saat itu penulis berkata dalam hati, “ah, biarkan saja diulang saya sudah capek mengetik”. Hehehe.
Terlepas dari bagian anniversary itu, ada bagian yang sempat membuat saya terkejut. Satu bagian yang membuat saya menarik nafas panjang sambil melihat langit-langit kamar beberapa saat agar tanggul di wajah saya tidak jadi jebol. Ada satu bagian lain yang membuat tissu di kamar kosan saya tidak sekedar berdiam diri saja di tempatnya malam itu. Tepatnya ketika Yoga menceritakan alasan Randu menjadi kian terpuruk kepada Nadi. Jadi, penulis berhasil mengambil ancang-ancang, berhasil membuat saya terlena dan agak jenuh di bagian awal sampai pertengahan sampai akhirnya saya berkata, “wah, ternyata ini alasannya”. Jadi penulis sangat pandai memberi kejutan ala-ala film drama romantis. Tidak heran juga sih, karena belakangan saya tahu kalau ternyata penulisnya kuliah di perfilman. Namun menurutku agak lama juga jaraknya. Maksudku dari awal sampai beberapa bab di pertengahan alur ceritanya terkesan lambat dan hanya menceritakan keseharian tokoh yang menurutku tak terlalu penting. Maksudku apa salahnya jika ada bagian yang khusus menggambarkan ketenangan dan keindahan Jogja kala sore atau pun sedang hujan, atau bercerita sedikit mengenai sudut-sudut indah kota itu yang tak banyak orang ketahui, seperti saya. Dan menurutku malah ini yang luput. Seharusnya inilah yang penulis banyak eksplor di awal cerita, sayang kan kalau latarnya di Jogja tapi tidak memanfaatkan itu.
Ada satu penggalan yang sangat menarik buat saya meskipun sebenarnya sudah banyak digunakan oleh penulis lain, “kehilangan selalu bisa memberi dua hal; jika tak mengajarimu lebih baik, maka kau akan terus terpuruk”. Sisipan kalimat itu sangat tepat waktu dan pas momennya. Aku memberi banyak jempol untuk bagian-bagian seperti itu pada novel ini. Aku sangat menyukai bagian ketika penulis menyisipkan pesan-pesan humanis yang menurutku sangat menguatkan bagiku yang juga pernah merasakan kesakitan hati Si Randu. Bagaimana sulitnya bangkit dari satu kejatuhan yang begitu dalam, hehe curhat.
Di antara beberap novel yang kubaca, ini salah satu yang menurutku sangat keren jika saja memang hendak difilmkan. Dan memang novel ini akan difilmkan, kok. Di sampulnya telah bertuliskan  label, “segera difilmkan”, begitu bunyinya kalau tidak salah. Bagian lain yang menjadi favoritku adalah ketika Nadi hendak berangkat ke Jakarta karena tugas kantor. Ketika sedang berada di bandara dan sempat menulis sebuah tulisan, mungkin bisa disebut puisi yang bunyinya, “juga berapa banyak kepergian yang tak disaksikan oleh siapa pun, kecuali dirinya sendiri”. Dalam hati aku berkata, “wah, sial, suasananya benar-benar sepi dan melankolis”. Penulisnya romantis juga ya, heheh. Terlepas dari itu, pada bagian pertengahan sampai akhir novel ini aku baru mulai bersemangat membacanya apalagi di beberapa puluh lembar terakhir. Meski alurnya sudah sangat cepat, seperti diburu sesuatu untuk segera menyelesaikan novel ini. Meski alurnya sudah bisa tertebak setidaknya aku kagum karena penulis membuatnya berbeda dari cara hingga mencapai klimaks.
Hal lain yang menarik dari novel ini adalah sampulnya. Jadi sampul novel ini pastinya sangat menarik bagi mereka yang menyukai kisah-kisah percintaan. Seorang perempuan dengan payung di bawah atap langit yang berhujan seingatku. Awalnya, aku pikir novel ini akan membahas banyak tentang hujan atau adegan-adegan romantis dan tragis pada saat hujan. Namun ternyata ceritanya sangat tidak hujan, malah yang banyak penulis bahas adalah hotdog, hotdog dan hotdog lagi. Jadi anganku sebelum memutuskan untuk membaca novel ini adalah aku akan mendapat banyak referensi romantis ketika hujan dan kebetulan sedang bersama seorang perempuan. Aku akan selalu menunggu saat-saat hujan dan memberinya kejutan berdasar apa yang sudah kubaca dari novel ini. Namun ternyata tidak demikian. Setelah membaca novel ini aku malah hanya ingin coba membuat hotdog sendiri. Bahan-bahannya sudah dijelaskan hanya saja cara pembuatannya luput penulis jelaskan, tapi itu bagus, kalau penulis jelaskan cara pembuatannya juga kan nanti bukunya terkesan bukan novel tapi buku resep dan cara pembuatan hotdog yang romantis, heheh. Namun aku bersyukur karena setelah membaca novel ini aku tahu bahwa tak boleh duduk terlalu dekat dengan pemanggang sosis ketika sedang di kios hotdog.
Kenapa saya merekomendasikan novel ini kepada siapa pun selain karena akan segera difilmkan adalah karena novel ini memang sangat layak untuk dibaca oleh siapa pun. Penerbit Grasindo memang salah satu yang buku-buku terbitannya tak pernah kusesali ketika selesai kubaca. Yang juga sangat menarik adalah ketika berada pada bagian cerita tentang keseharian seorang editor. Jadi Nadi dalam novel ini berprofesi sebagai seorang editor. Aku pernah membuat daftar perusahaan yang akan kutempati untuk melamar pekerjaan, salah satunya adalah perusahaan penerbitan buku fiksi dengan posisi sebagai editor. Aku tertarik dengan hal tersebut ketika membaca Haruki Murakami, IQ84 beberapa tahun lalu. Sejak saat itu aku membayangkan selalu bisa menjadi orang pertama yang membaca karya atau kisah hidup orang lain. Aku membayangkan diriku setiap harinya lebih banyak menyendiri di hadapan laptop bututku. Di cafe-cafe yang sepi, di taman-taman kota yang teduh, di apartemen yang para penghuninya tak saling mengenal. Atau membayangkan diri jenuh dan bosan setelah seharian membaca hingga kadang-kadang aku memilih mabuk di pinggir pantai kala sore atau mengajak kekasih ke kosan untuk sekedar bercerita seharian dan lain-lainnya.
Jadi, kurang lebih seperti itulah kesan saya setelah membaca karya Ummuchan bukan salah hotdog, eh maaf maksud saya Bukan Salah Hujan ini. Karya ini menurutku memang sudah selesai,meski katanya banyak yang menunggu sequelnya. Aku sangat menantikan karya lainnya karena menurutku di novel ini penulis belum mengerahkan segala kemapuannya dalam menulis. Aku yakin ketika penulis benar-benar serius menulis maka akan lahir karya yang wow, maksud dari pernyataan tadi adalah aku memberi semangat pada penulis dan juga untuk diriku sendiri. Jadi, kalimat don’t judge the book by the cover itu memang benar, salah satu contohnya buku ini. Jangan pernah menyalahkan hujan karena hujan bisa marah, seperti lirik dalam lagu Efek Rumah Kaca




Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer