kota dan sesuatu yang tak segera ingin pulih

dan kala langit telah merunduk, membungkuk dan bersiap memeluk. kota mendamba ketenangan di kaki orang-orang yang terjebak macet. aku bersedih semakin hari semakin tak puisi. semakin hari semakin seperti ini saja(k). kemana angin sejuk yang dulu bersemayam di balik dada. matikah ia, kesalkah ia dengan nasibku? adakah ia benar-benar sedang menanti kekasih baru.
aku masih duduk dan termenung di antara lalu lalang kendaraan waktu. di antara debu-debu dan bangunan tua, setengah baru ataukah baru saja dilahirkan oleh rahim kuasa. sepertinya kota tak lagi butuh kekasih. ia hanya butuh teman, sahabat yang mendengar tangisannya, sesekali mengusap hujan di pipinya.
tentang daun dan debu-debu kota, yang berkisah lalu berpisah. yang bersatu kemudian menjadi banyak hal yang tak saling butuh. aku masih aku, yang tak kau kenali, meski pernah ingin kau coba ingat-ingat. atau bahkan selalu kau cari-cari dalam lagu “jingga di batas kota” karya Candrabhakti.
kita tak sesederhana langit hari ini yang berwarna tua, yang mengamati cinta dan kasih terbunuh dalam pernikahan. atas nama cinta katamu, atas nama ketidakberdayaan kataku. tak usah hiraukan perasaan lelaki, mereka hanya butuh waktu. seperti lelaki sepertiku yang rasanya butuh waktu seumur hidup agar segalanya kembali pulih menjadi kesakitan yang baru.

Komentar

Postingan Populer