Matahari Terbit Dari Tempat Tidurku

Akhirnya kutemukan kembali diriku dalam kamar sialan ini bersama lagu tentang kematian. Kamar yang berwarna suram bersama suara-suara ketakutan. Nafasku terangkat bersama ketakutan yang kubentuk dengan  asap yang mengepul di sekitar pemakaman. Persetan dengan apa yang sanggup dilakukan oleh cinta. Kucoba menembus batas kebencian. kuselami kedalaman rasa takut manusia yang pernah menghentikan langkah para pemberani di medan perang.
Perasaan ini benar-benar sialan. Aku sungguh-sungguh menginginkan kegelapan di mana cahaya hanya berkumpul dalam pikiranku. Pada hisapan rokokku yang terakhir, kutemukan malaikat tersenyum di balik pintu kamar. Tubuhku tiba-tiba menjadi dingin namun angin tak lagi berhembus di luar kamar. Malam tak lagi bersuara. Bumi terlelap dan ingatan berangkat entah ke mana.
Pelan, berbisik. Perlahan nafasku memburu lalu terbentur pada sebuah mimpi buruk. Di mana arah menuju surga. Lalu kutunjukkan sebuah pintu dengan kesombongan. Dia ada di sana, kataku. Di balik segala kemungkinan yang kau genggam namun tak pernah cukup untuk kau rasakan. Kita hidup pada suatu tempat di mana segalanya harus memiliki alasan sebelum terhubung. Aku menarik nyawa yang pernah seseorang titip dari balik dadaku. Lalu sesuatu terasa mati untuk memulai kehidupan yang baru. Rasa berharap hanyalah naluri atas lemahnya perasaan manusia.
Aku tak mengerti perasaan yang menimpaku. Kata-kata ini hanya membumbung begitu saja. Berdesakan mencari jalan keluar dari balik jiwa yang mengutang nyawa dari dua orang yang mewarisi kemuliaan semesta. Ketakutan sudah terlanjur menentukan masa depanku. Jika tak ada lagi  matahari yang terbit esok hari, semoga masih ada matahari lain yang terbit dari tempat tidurku.

Komentar

Postingan Populer