Manusia selalu menjejali dirinya dengan
berbagai kerumitan. Namun menyenangkannya adalah selalu saja ada seseorang yang Tuhan
utus dan hadir sebagai penyelamat. Namun, manusia tak pernah benar-benar mampu
menolong manusia lain. Pada kenyataanya, setiap dari mereka hanya mampu
menyelamatkan dirinya sendiri.
Aku khawatir kata-kata tak pernah cukup untuk
mengisi kekosongan pada diri seseorang, tak pernah cukup untuk menyentuh bagian
tubuhmu yang harus kusentuh saat kau menggebu-gebu merindukanku. Aku takut
kata-kata hanya menambah kesepian baru pada diri orang lain yang membaca
tulisan ini, termasuk aku sendiri. Meski kata-kata bukanlah apa-apa untukmu,
kata-kata bukanlah hal baru pada peradaban manusia atau bahkan kata-kata tak
mampu membuatmu aman dari rasa lapar dan dari segala hal yang mengganggumu di
jagat raya ini. Aku percaya bahwa kata-kata adalah sebuah ruang ajaib yang
sanggup menampung apa saja. Kata-kata adalah sebuah ruang ajaib yang sanggup
menyimpan segala hal berat ketika kecemasanmu tak mampu kau letakkan di mana
pun. Kata-kata selalu hadir sebagai semesta raya, sebagai samudera, sebagai bantal
empuk saat lelah tengah menggelantung di matamu atau bahkan sebagai langit yang
mampu menyembunyikan kecemasan siapa pun. Kata-kata sering kupandangi sebagai segala
hal yang tak mampu kudefenisikan sebagai apa pun bahkan ketika dirinya sendiri
tak mampu menjelaskan diri sebagai dan dengan kata-kata itu sendiri.
Aku pernah bermimpi akan menjadi sebuah
kata-kata pada diri seseorang yang kau kagumi. Setiap hal yang akan keluar
berhamburan dari mulutnya bagimu adalah tetes embun yang deras bagai hujan yang
kau percaya mampu menjinakkan segala keresahanmu ketika kau mengingat-ingatnya
kembali pada dini hari yang tak pernah tidur bagimu. Aku kadangkala tak
percaya, bagaimana hanya sebuah kata-kata, yang tak terlihat, yang tak
tersentuh mampu menggetarkan bagian-bagian terdalam dan terpencil dalam dirimu
sedemikian hebatnya.
Setelah pertemuan kita yang maya pada tempo
hari, aku yakin bahwa kata-kata sama hebatnya dengan ledakan bom atom yang
menggetarkan separuh bumi. Jika kuingat-ingat kembali, hampir tak ada sepatah
kata pun yang tak mesti kulupakan setelah percakapan ringan itu. Rasanya begitu
berat menjadi seseorang yang telah lama mati dan memutuskan untuk hidup
kembali, kau pasti tahu kan perasaan seperti itu? Aku percaya bahwa yang
membuat kita sedemikian adiktifnya satu sama lain adalah kata-kata yang kita
lontarkan begitu tepat mengenai sesuatu dalam diri kita yang telah lama tak
terjamah. Masing-masing dari kita pernah berada pada tumpukan kesepian yang
akhirnya menenggelamkan segala yang ingin tumbuh dengan bahagia. Kita pernah
menyerah meskipun pada kenyataannya kita belum pernah benar-benar berusaha,
kita pernah ingin berhenti meski sebenarnya tak ada yang pernah benar-benar
kita lakukan, kita merasa pernah ingin mengakhiri meski belum satu pun yang
pernah benar-benar kita mulai. Kemudian sejak saat itu, kita mendamba seseorang
dengan hebatnya. Misalnya, “Lelaki Bersayap” seperti yang selalu kau impikan dahulu.
Aku bukanlah orang itu. Aku tetap aku. Pria ini masih aku yang hatinya pernah
mati suri sepertimu.
Entah sudah berapa kali kukatakan jika aku
begitu membutuhkan seseorang yang jauh. Seseorang yang menghargai kata-kata.
Seseorang yang menghargai betapa pentingnya bertanya, menjawab atau sekedar
menanyakan dan menceritakan segala hal sepele yang kita lakukan hari itu. Aku
sadar ternyata manusia benar-benar membutuhkan pertanyaan. Ternyata manusia
bukanlah apa-apa tanpa kisah-kisah kecil orang lain, manusia bukanlah apa-apa
tanpa hal-hal yang menyebalkan seperti; rindu.
(Tulisan di atas kuperuntukkan pada seorang perempuan bernama, Jauh. Telah kumuat beberapa kali pada beberapa blogku yang lain. Ketika kau menemukan (lagi) tulisan ini, kau akan tahu bahwa aku sedang mengingatmu)
Komentar
Posting Komentar