Yesterday!

Foto oleh Rahmat Maulana di Kedai Buku Jenny


Yesterday
All my troubles seemed so far away
Now it looks as though they're here to stay
Oh, I believe in yesterday...



Aku mengulang-ulang penggalan lirik lagu Yesterday, milik The Beatles di atas. Sepertinya mereka begitu menyukai hari-hari kemarin. Segala kerusakan, kesalahan bahkan hal-hal yang memalukan adalah sesuatu yang tak perlu dirisaukan. Mungkin seperti itu cara mereka memperlakukan kenangan, memberinya tempat di mana tak ada dendam yang juga tumbuh secara bersamaan. Aku ingin seperti mereka, maksudku menjadi tegar seperti tak ada kecemasan walaupun pada setiap nada yang mereka bawakan adalah rintihan kecemasan yang tak bisa mereka sembunyikan sedikit pun.
Hari ini aku terbangun lebih pagi dari biasanya. Kuteguk beberapa gelas air putih sebelum mencuci muka. Rasanya masih seperti kemarin, kekosongan dan sunyi tersisa di dasar gelas. Aku berhenti dan duduk sejenak. Menyelami bagian-bagian terpencil dalam diriku. Mencari-cari apa saja yang salah di sana. Aku membayangkan diriku masih ada dan melakukan peran seperti yang aku lakukan beberapa waktu yang biasa sebelum hari ini. Aku menuju pada hari-hari menyendiri di kamar sehari penuh tanpa pernah bersentuhan dengan cahaya matahari. Hari-hari berada di warung kopi kesukaan sampai aku kembali merasa sempurna sebagai manusia yang kesepian. Jika ada kesempatan, suatu hari akan aku ceritakan tentang tempat ini. Lalu kudapati notifikasi chat di layar handphoneku. Seseorang sedang mengomentarai foto postingan whatsapp story ku bahwa aku terlihat begitu kelelahan dan itu memang benar. Kusadari betapa hal seperti itu bisa cukup membantu siapa pun, termasuk aku hari ini.
Akhir-akhir ini aku mendapati hal yang aku sukai sekaligus tak begitu menyenangkan pada awalnya. Aku selalu diidentikkan dengan, senja. Teman-teman selalu menyertakan aku dengan itu. Walau tak ada hal buruk dengan itu namun aku khawatir senja yang mereka pahami adalah sesuatu yang murung atau putus asa. Meskipun memang aku kadang terlihat begitu sangat jauh dari senyuman namun aku adalah orang yang tak pernah kehabisan harapan. Itu adalah prinsip yang aku pertahan dengan teguh. Senja, kopi dan puisi adalah indie. Ahh, aku bersedih, lama-lama rasanya beberapa orang menjadikannya cemohan atau guyonan yang kurang nyaman untuk kudengarkan. Bagiku mereka hanya belum menemukan sisi terbaik di dalamnya dan menganggap hal seperti itu hanya boleh dilakukan oleh orang-orang lemah. Aku tak peduli, bagiku itu adalah harapan. Bagiku itu adalah kesadaran bahwa hidup ini sebaiknya disederhanakan meski pada kenyataannya terasa rumit.
“Perasaan bukanlah sesuatu yang penting. Orang-orang tak akan peduli apa yang sedang kau rasakan. Orang-orang hanya akan peduli dengan apa yang kau katakan kemudian kau lakukan. Betapa menyedihkan membaca penggalan kalimat itu pada sebuah buku yang kubaca tempo hari. Namun tak juga bisa dipungkiri jika seperti itulah kenyataannya kadang-kadang. Aku akan merasa sangat bersyukur ketika menemukan orang yang tidak seperti itu. Kita ini sebenarnya tergolong orang yang mana. Apakah aku adalah orang yang selalu ingin terlihat baik-baik saja tanpa perlu mempedulikan perasaan sendiri. Ataukah kita ini tak peduli orang lain, maksudku kita ini orang yang paling merasa bebas dengan apa pun selama perasaan masih terasa baik-baik saja.
Aku terkadang merasa tak mampu menjalani peran sebagai diri sendiri. Terlalu banyak hal yang mesti dipahami, terlalu banyak emosi yang harus dilalui sedang manusia sangat terbatas dan lemah kecuali dalam pikirannya sendiri. Kadang aku mampu memikirkan dan memecahkan sesuatu namun tak mampu merasakannya. Kadang aku mampu merasakan sesuatu namun tak mampu memikirkannya.
Kemarin, aku menghadiri sebuah perayaan komunitas dan aku menjadi bagian di dalamnya. Pada sebuah sesi talkshow tentang kepenulisan, aku menyimak beberapa hal dan memahami bahwa setiap orang ternyata bisa memikirkan hal yang sama. Namun di lain hal, tak pernah bisa merasai hal yang sama kecuali mereka pernah ada dalam situasi yang sama. Menulis puisi misalnya. Kita bisa menulis puisi dengan cara yang sama namun perasaan yang sampai ke dada tak akan mungkin bisa sama. Kita bisa merasakan sebuah emosi yang sama namun kita tak akan mungkin bisa membuat puisi yang sama lalu mentransfer emosi itu kepada orang lain. Sebagai contoh, aku kadang menulis puisi yang tak sepenuhnya aku pahami namun selalu berhasil selesai kutuliskan sebagai puisi. Aku benar-benar bisa merasakan perihal yang ingin kutuliskan sebagai puisi itu, namun tak bisa membuatnya sedemikian rupa pada pena yang sedang kugoreskan. Selalu berbeda dengan apa yang ada di kertas dengan apa yang ada di dada dan di kepala. Bagiku, seperti inilah perasaan bekerja. Kita tak akan mungkin bisa menjelaskannya dengan sempurna. Hanya pikiranlah yang bisa dijelaskan, lain tidak. Aku tak bermaksud bahwa perasaan itu berbahaya, tidak sama sekali. Berpikir dan rasakanlah segala hal selama kau sanggup melakukannya. Itulah kekayaanmu yang seseungguhnya. Mungkin hanya inilah yang bisa menjawab pertanyaan salah seorang teman malam itu.
Aku kadang berpikir bagaimana rasanya jika aku tak menjadi diriku yang sekarang ini. Bagaimana jika aku tak menjadi manusia. Bagaimana rasanya jika aku menjadi gelas kopi di cafe-cafe mewah atau bagaimana pula rasanya menjadi gelas kopi di warung yang sederhana. Bagaimana rasanya menjadi penjepit rambut favorit orang yang aku sayangi, menjadi bookmark buku yang sedang dibaca oleh seorang pembunuh bayaran atau menjadi sendal jepit butut yang sedang kupakai ke mall untuk menemui teman lama. Atau bagaimana rasanya jika aku menjadi kecemasan di dada ibu ketika aku tak memberi kabar apa pun selama tiga bulan. Bagaimana menurutmu? Ah, maaf jika aku memberimu pertanyaan konyol seperti ini. Tak kau jawab juga tak apa-apa, tapi coba kau jawab saja dulu dalam hati. Atau kau boleh membawanya ke rumah. Kupikir itu tak akan memberatkan tasmu yang mungkin berisi barang-barang tak penting.
Aku suka berbicara sendirian. Kupikir orang lain juga. Tak ada orang yang selama hidupnya pernah berhenti berbicara, bahkan selama tidur pulasnya. Hanya itu satu-satunya hal yang bisa dilakukan manusia tanpa berpikir sekali pun. Tak heran jika dendam dan benci kadang muncul begitu saja. Aku tak tahu persis apa yang sedang kubicarakan, namun rasanya aku sedang berbicara dengan seseorang diluar sana saat ini. Jika kau bisa memahami apa yang sedang kurasakan maka orang itu adalah kamu. Aku menulis ini untuk aku dan kau saja.
Saat ini aku sedang mendengar Violin Concerto In E Minor, Op. 64 oleh Felix Mendelssohn. Felix Mendelssohn adalah seorang komposer musik besar asal Jerman yang dipercaya menghidupkan kembali karya komposer yang pernah berjaya sebelum beliau, misalnya JS. Bach. Karya Felix Mendelssohn yang terkenal adalah Midsummer Night's Dream. Aku menemukan komposer hebat ini dari sebuah film yang menceritakan tentang seorang ibu yang selalu mengenang anaknya setelah meninggal dalam bom di Nagasaki waktu itu. Nagasaki: Memory of My Son (2016) adalah judul filmnya. Film ini sangat menarik karena sarat akan nilai sejarah dan situasi warga Jepang pasca bom Nagasaki yang dahsyat itu. Terlebih dialog-dialognya yang begitu mengesankan antara arwah anaknya yang selalu datang menemui ibunya yang hidup sendirian setelah seluruh anggota keluarganya direnggut oleh perang.

Bagiku, menceritakan diri sendiri kepada orang lain tentang apa pun yang sedang kita rasakan, apa pun yang kita sukai dan alami adalah sebuah proses bercerita yang baik. Kita tak akan memilih-milih siapa orang itu. Siapa pun, akan terbaca atau tidak, selalu ada kelegahan di dalamnya. Aku tak perlu khawatir jika ada yang tak suka atau terganggu dengan ini. Namun yang pasti, aku akan merasa sangat bersyukur dan menghargai siapa pun kamu yang selalu membaca tulisan dalam blog ini. Kita adalah teman. Kita adalah apa pun yang selalu bisa saling mendengar dan merasakan. Kita tak perlu bertemu untuk bisa dikatakan teman atau apa pun yang bisa disebut saling memahami. Berbahagialah dengan segala hal yang kau temukan.

Komentar

Postingan Populer