Makhluk Tuhan Paling Senja
Hari itu udara sedang panas menyengat bagi sebatang
rumput yang berdiri lunglai tak bersemangat di halaman hiruk-pikuk kota yang
serba cepat. Kadang-kadang ia diinjak, kadang dihempas dan kadang teman
serumpun sedang malang hingga tercabut. Bagi sebatang rumput, ia tak mengerti
mengapa dirinya ditakdirkan berperan sebagai rumput, ditakdirkan sebagai
tumbuhan yang terlihat lemah tak berdaya. Ia tahu bahwa dirinya adalah sebatang
rumput yang tak pernah menjadi perhatian istimewa bagi manusia-manusia yang
hidup di kota kecuali ia adalah sesuatu yang unik dan bisa memberi nilai
estetika lebih di halaman rumah orang kaya perkotaan.
Seorang lelaki masih memandangi rumput-rumput
aneh itu. Serumpun tanaman yang kata sebagian orang adalah parasit. Ia
memandangi serumpun tanaman liar itu seolah ada jawaban pasti dari kegelisahan
hidupnya yang dipundaki selama ini.Tapi bukan itu yang membuatnya jauh tertarik.
Baginya rumput adalah tanaman biasa. Ia sering membabat habis ketika pulang ke
kampung halaman dan membantu pekerjaan orang tuanya. Ada banyak hal seperti itu
di luar sana tapi mengapa hari ini rumput itu sangat menarik bagiku, gumamnya
dalam hati. Ah, apa-apaan ini. Apa aku mulai gila? Mulai frustasi karena
tuntutan hidup yang semakin berat. “Menjadi seorang sarjana dan pulang kampung
adalah aib”. Diulang-ulangnya kalimat itu dalam hati hingga membuatnya resah
sendiri. Lebih dalam lagi ia berpikir, lebih dalam lagi kecemasan itu menusuk
jiwanya. Hari itu ia benar-benar merasa sendiri. Lebih sepi dari serumpun
rerumputan yang hidup di halaman sebuah kantor swasta itu. Andai bisa menggantikan
rumput, aku akan melakukannya. Mungkin dengan menjadi sebatang rumput aku tak
akan merasa sekhawatir ini meski suatu hari akan dicabut oleh hukum alam.
Mungkin akan lebih baik demikian daripada aku harus tercabut perlahan oleh
takdir dari hidup yang kian hari kian tak seindah hari yang lalu.
Namanya
Timy. Pemuda yang baru setahun lalu merebut kebahagiaan semunya lewat wisuda.
Ia tak pernah menyangka bahwa hidupnya hari ini akan sedemikian tak
menyenangkan baginya. Penyandang gelar baru sebagai pengangguran sedang umur
semakin tak muda dan teman-teman yang semakin sulit untuk ditemui adalah merupakan kombinasi bencana tersendiri baginya. Hampir tak
ada tujuan baginya selain rumah kontrakan, warkop atau kantor-kantor tempatnya
menyodorkan lamaran pekerjaan. Baginya, pulang ke kampung halaman adalah aib
dan kembali ke kota berarti membuang diri. Hampir tak ada yang menyenangkan
lagi baginya selain membaca buku dan mendengarkan musik. Jangan tanyakan lagi
soal undangan pernikahan teman seangkatan, baginya itu adalah ancaman. Ia
hampir benci menghadiri acara pernikahan. Ia tak suka bertemu teman-temannya
dengan keadaan seperti itu. Masih belum dewasa sama sekali dan tak jelas.
Sangat berbanding terbalik dengan mereka yang telah mapan, menjadi pegawai
negeri, pengusaha mau pun mereka yang telah menikah dan bahagia. Semakin sering
ia membayangkan hal itu semakin kerdil pula rasa percaya dirinya.
Timy
memasang earphone dan mulai menyelam kedalam musik klasik yang belakangan ini
ia gandrungi. Ia selalu berhasil merebut kembali siapa dirinya ketika kembali
ke kamar kontrakan lalu membaca buku setelah kopi hitam buatannya itu ia sesap
beberapa kali. Lagu di playlist spotify yang ia susun sendiri telah berpindah
pada track kesembilan. Nocturno Op. 9 No.
9 oleh Frederic Chopin adalah
kegemarannya, paling tidak beberapa minggu belakangan ini. Timy sedang jenuh
mendengar musik-musik populer akhir-akhir ini. Seperti hidup, mendengar musik
juga butuh tamasyah baginya. Memperbaharui playlist setiap dua minggu misalnya.
Ia telah memutuskan untuk mendengar musik klasik ketika sedang membaca buku dan
akan menyetel playlist musik heavy metal
ketika sedang berkendara. Jika bukan musik maka buku, jika bukan buku maka
film. Hanya itu teman setia bagi Timy selama ini. Vacumnya band yang ia manjakan
beberapa bulan terakhir ini melengkapi kegeraman hidup dan kesepiannya.
Ia menyimpan buku bacaan yang pada sampulnya
bertuliskan Agatha Christie, Nemesis. Ia spontan saja membuka notebook bututnya.
Tak ada rencana apa pun sore itu. Langit sedang mendung dan tak ada sunset hari
ini. Ia membuka folder foto-foto lama itu lagi. “Sial”, katanya. Pandangannya kembali terperangkap oleh foto-foto
yang tak seharusnya lagi meruntuhkan semangatnya. Sesuatu yang tak terbendung
tiba-tiba muncul di balik dadanya. Mereka menerobos begitu saja dan merambat
pelan di kedua sisi dada ringkihnya hingga menyesak di suatu tempat yang lama-lama
membuat sesuatu tumpah ruah. Mengapa aku masih merindukannya. Ada apa
sebenarnya dengan orang ini. Sudah tiga tahun lamanya berlalu dan aku belum
sanggup menghapus foto-fotonya. Timy menutup notebook itu lalu menatap
langit-langit kamar sambil bersandar. Memang tak ada yang akan bisa selesai
sejak semua itu, gumamnya dalam hati. Ternyata inilah salah satu sudut lemah
laki-laki dan aku akan perlahan melaluinya sendiri. Ia hampir saja ceroboh dan
menanyakan kabar tentang orang itu. Meski ia tahu bahwa hal itu bukanlah
kesalahan, ia tak akan melakukannya. Setidaknya untuk saat-saat seperti ini. Ia
menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Ternyata aku
benar-benar telah berada pada tahap ini, ucap Timy dalam hati.
Timy tersenyum melihat wajahnya yang
samar-samar tersenyum di layar notebook. Meski tak mampu ia pungkiri pula bahwa
melihat kembali foto-fotonya jelas telah membuat semuanya menjadi kacau. Ia
kembali berurusan dengan kesedihan karena saat itu rindu yang begitu kuatnya
sedang melesat.
Cahaya di luar kamarnya telah meredup dan
lampu di ruang sempit dan pengap itu belum dinyalakan. Beberapa bab novel karangannya pun telah rampung ia tulis. “Makhluk Tuhan Paling
Senja”, begitu judul yang tertera pada folder di notebook yang berwarna
hitam kumal yang baru saja ia tutup. Timy lalu melunasi seruput paripurna di
cangkir kopinya ketika semesta perlahan mengisi seluruh penjuru kamar dengan
warna temaram sore menjelang malam kala itu.
Bersambung...
Aww Timy😢
BalasHapus