Memesan Sunyi Dalam Puisi

Jam baru saja menunjuk pukul 00.00, dan di rumah, aku baru saja tiba. Aku menuntaskan janji yang telah kuhadiahkan pada diri sendiri setelah seharian berlelah-lelah tanpa banyak mengeluh.

Aku menuju kota. Meski rencana ke pelabuhan gagal, aku berbelok menuju kedai kopi milik teman. Aku singgah di sana dan saling bertukar kisah dan kecemasan melalui perantara kopi dan asap-asap hangat yang mengepul.

Aku benci mengatakan ini, "aku tak mampu hidup dengan baik tanpa musik dan puisi-puisi yang menebar ketabahan". Meski ketabahan hanya milik 'hujan bulan juni'.

Aku pulang ke rumah membawa kelegahan dan semangat baik meski tak ada perubahan berarti. Kecemasan tetaplah kecemasan. Mungkin aku sudah terlanjur sombong memelihara mereka lewat kesadaran. Namun satu pelajaran sederhana yang kudapatkan malam ini bahwa aku perlu memesan kesunyian-kesunyian baru dalam puisi yang telah lama menumpuk dalam dada.

Aku sesekali menatap langit pada perjalan pulang. Lagu yang tabah kusetel santai dan motor bututku diam-diam menaklukkan jarak di jalan sunyi. 

Aku menatap langit dan berharap bisa menemukan wajah lama di sana. Meski tak ada apa pun yang nyata kutemukan darinya, aku yakin bahwa aku sedang menitip harap dan rindu di awan sana. 

Aku yakin jika seperti itulah puisi-puisi terlahir. Ada yang berhasil dituliskan dan ada pula yang hanya bisa dirasakan. "Aku harus melanjutkan hidup", kataku dalam hati sesaat setelah menyadari segala yang ada di depan sana.

Komentar

Postingan Populer