Sepucuk Surat Yang Tak Pernah Terbaca

Malam itu aku pulang sehabis manggung di salah satu acara. Aku berharap segalanya tenang dan lega setelahnya. Aku tak habis pikir, perasaan aneh apa lagi yang menimpa dadaku. Aku terhempas jauh ke sebuah tempat asing untuk kesekian kalinya. Untuk beberapa kali, aku kembali merasa kosong kelompong. Aku tak merasa memiliki dan dimiliki oleh apa dan siapapun. Aku benci merasakan ini. Tak ada yang tahu dan menyadari ketika aku sedang berpura-pura hidup. Berpura-pura sebagai aku yang hidup.

Jarak terjauh yang pernah kutempuh dalam hidup ini adalah menyadari bahwa aku tak sanggup lagi merasakan cinta. Baik untuk diriku sendiri dan seseorang yang ingin kubanggakan sebagai kekasih. Tapi bukan, bukan itu intinya. Aku merasa jauh dari apapun akhir-akhir ini. Orang-orang yang kuandalkan perlahan berubah dan membangun jarak. Tanpa mereka sadari bahwa aku sedang terbunuh dalam kesalahpahamannya, dalam kepasrahan atau sisa-sisa perjuangan yang pernah mereka janjikan.

Sia-sia Tuhan menciptakan malam sunyi seperti ini tanpa puisi-puisi yang bisa kudekap. Tanpa tangan-tangan yang bisa kugenggam dan gari-garis bibir yang bisa kurasakan.

Aku hanya sanggup bertahan di tempat ini, tak berdaya menggapaimu, meski hanya dengan sekedar ucapan "bagaimana kabarmu?". Tak ada lagi jarak yang lebih jauh dari itu. Bahkan bintang-bintang meredup dan cahaya tak lagi jadi kebanggan matahari pagi.

Kau bisa menamaiku pengecut namun aku yakin aku bukan yang terburuk.

Entah untuk siapa surat ini akan kusampaikan. Aku ingin mengeluh di pundak mereka yang bisa merasakan ini. Aku tak bisa membayangkan siapa orang itu. Betapa menyedihkan menjadi kuat dan rapuh sekaligus dalam satu tubuh.

Surat ini tak memiliki seseorang yang akan ia tuju. Ia hanya berjalan seorang diri tanpa peduli seperti apa dunia ini. Namun ia tahu seperti apa rasanya dilupakan dan hidup bertahan dalam kalimat " esok hari tak akan seperti ini lagi".

Komentar

Postingan Populer