Hari Sabtu Lebih Panjang Dari Hari Minggu (?)

(Salah satu sudut di Perpustakaan Cinta Baca)

        Bagiku, menulis kembali segala hal yang kukerjakan pada hari itu adalah sebuah proses mengolah perasaan. Di sana aku berkontemplasi, meresapi dan memikirkan ulang bagaimana diriku menjalani hari ini. Namun tidak semudah itu. Semenjak bekerja sebagai karyawan swasta di salah satu perusahaan di Bogor, waktu luang dan mood adalah hal yang benar-benar sangat mahal. Aku mungkin berhasil melakukan tour kecil Kota Bogor pada hari ini. Mengunjungi beberapa tempat yang (asal kau tahu) telah kurencanakan berminggu-minggu lalu. Semua itu karena dominasi rasa malas dan kelelahan yang telah mengambil tempatnya lebih dulu.

        Sebelum kekacauan ini, aku bisa melakukan segala yang kupikirkan hari itu juga. Aku menyebutnya kekacauan agar lebih dramatis saja. Sebenarnya tak patut juga disebut kekacauan karena hal tersebut telah memberiku hidup yang layak secara ekonomi dan mental.

        Pagi ini aku berbaring sampai hampir menjelang siang. Entah mengapa hari libur selalu sepaket dengan kemalasan. Sekalipun itu sekedar menyiram tanaman atau menyapu lantai yang berantakan, tak ada yang rasanya menarik untuk dikerjakan. Tapi apakah hari libur termasuk kata kerja? Mengapa harus ada yang dilakukan pada hari libur. Bukankah berdiam diri seharian di kamar termasuk mengerjakan sesuatu?

        Jam sudah menunjuk pukul sepuluh pagi. Aku menerka-nerka apa yang sekiranya harus kubayangkan agar moodku terselamatkan hari ini. Hal yang pertama kali muncul dalam bayanganku adalah berkendara sambil mendengarkan musik secara acak. Tapi aku tak pernah bisa benar-benar mendengar musik secara acak. Apakah itu penting? Bagiku pribadi, playlist adalah satu hal yang juga teramat penting, selain memilih makanan sehat.

        Sedikit memaksa, aku bangun dan bergegas menuju kamar mandi untuk berdiam diri sambil merenung di atas kloset. Salah satu momen terbaik dan juga konyol. Tanpa berpikir panjang, aku memutuskan untuk keluar sebelum sang raja langit menghujam panas teriknya di jalan-jalan Kota Bogor. Setelanku tetap sama. Apa yang kukenakan untuk bekerja adalah apa yang juga kukenakan untuk bermain. Memang menyedihkan namun tidak untuk dianggap masalah. Sama sekali tidak.

        Aku berkendara menyusuri Jalan Baru. Suasana lumayan lengang dan udara lumayan memanjakan. Tak seperti hari-hari sebelumnya, mentari yang galak tanpa kompromi. Aku berkendara menuju sebuah perpustakaan di daerah Bogor Baru. Berbekal Google Map, kususuri jalan raya dengan irama instrumental Depapepe yang sedikit melankoli nan menggemaskan. “Seperti adegan di film-film drama Jepang”, pikirku.

        Aku bersyukur ketika kudapati diriku hanyut dalam buaian melodi di kepala dan di dada. Seperti bertemu seseorang yang telah lama kurindukan. Diriku yang dulu. Diriku yang selalu menghibur diri dengan cara-cara sederhana. Berkendara sambil mendengar musik misalnya.

        Begitu menyenangkan ketika sampai di depan perpustakaan. Saat-saat seperti ini pernah begitu akrab sebelumnya. Momen-momen yang sulit digambarkan ketika berada di antara rak-rak dan tumpukan buku. Berjalan sambil mengamati judul dan penulis dengan hati-hati pada tiap rak buku, khawatir ada judul penting yang terlewat. Namanya Bunda Yanti. Seolah-olah terkejut ketika mengetahui bahwa aku bukan lagi mahasiswa dan tetap ingin ke perpustakaan untuk berurusan dengan buku-buku. Mungkinkah jika hal-hal seperti ini sudah langka di kota ini, ataukah di tempat lain juga demikian? Mengapa kebanyakan orang menganggap bahwa buku hanya urusan mahasiswa atau pelajar semata? Bukankah belajar adalah pekerjaan seumur hidup? Lalu dalam anganku yang liar seperti biasa, sambil bercakap dengan Bunda Yanti si penjaga perpustakaan, aku membayangkan memiliki istri seperti beliau kelak. Kita tak pernah lupa dengan buku, menjadikannya urusan penting selain mencari uang jika memang hanya bisa dianggap kesenangan. Membayangkan hal itu membuatku bersemangat. Imajinasiku belum berubah rupanya. Masa tua, istri yang menyenangkan, perpustakaan pribadi, musik jazz, halam rumah yang hijau dan buku-buku. Sungguh sempurna bukan? Ya, satu-satunya kesempurnaan dalam hidup ini adalah impian.

         Tanpa berpikir panjang, aku bergabung menjadi member di perpustakaan ini. Kupikir akan sedikit menghemat untuk urusan buku. Bergabung menjadi member di perpustakaan akan memberiku peluang membaca banyak ragam buku daripada hanya membeli satu buku setiap bulan. Strategi manis nan licik. Hidup memang harus sedikit cerdik, bukan? Sekali pun itu hanya berlaku untuk diri sendiri. Aku cukup bingung ketika harus memilih buku mana yang akan kupinjam. Aku berdiri lama di depan deretan rak yang bertuliskan “kesusastraan”, tentu saja. Tak mungkin di depan buku-buku ekonomi atau sains. Aku belum siap untuk hal-hal semacam itu. Saat ini aku ingin dihibur sambil dididik pelan-pelan. Aku memilih karya Pramoedya dan Ayu Utami, cukup dua buku dulu sebagai permulaan untuk membangunkan lagi gairah membaca.

         Setelah mengobrol sejenak perihal buku yang aku pinjam, kepada Bunda Yanti dan seorang pemuda yang sedang bermain laptop yang aku lupa namanya itu, aku berpamitan.

        Kembali kupasang headset dan melanjutkan playlist terakhir. Taman Ekspresi adalah tujuanku. Sedikit mengitari Kebun Raya dan Istana Bogor, aku sampai pada tujuan. Moodku terasa lebih baik. Terasa hangat dan menyenangkan berada di kota ini. Melihat pohon-pohon yang tumbuh dengan segar di pinggir jalan membuatku merasa seimbang. Membuat pandangan menjadi hijau dan bersemangat. Udara yang segar, bangunan-bangunan tua yang estetik menambah kesan melankoli dan menggairahkan untuk menulis beberapa baris puisi. Tempat ini selalu kukunjungi pada awal-awal aku berada di kota ini. Sekedar berjalan-jalan di taman atau lari pagi dan sore di Lapangan Sempur. Semenjak pandemi, semuanya hilang dan dirindukan.

        Kukeluarkan buku itu dari dalam slingbag. Aku menjadi pusat perhatian sore itu. Di bawah pohon rindang yang mungkin saja berumur ratusan tahun itu, aku seperti melakukan hal memalukan di tengah keramaian. Orang-orang menoleh dengan heran melihatku membaca buku di taman. Lalu apa yang menurut mereka wajar untuk dilakukan saat ini? Sibuk dengan handphone masing-masing meski rencana mulanya adalah janjian untuk berkumpul setelah lama tak bertemu? Ataukah berlomba membuat igstory yang paling menarik? Atakauh berfoto bersama dan tersenyum meski tidak sedang bahagia?

        Tapi aku tak peduli. Aku juga tidak merasa yang paling keren di bawah pohon itu. Aku tetap melanjutkan bacaan dan beranjak pergi setelah kurasa cukup bersantai di tempat itu.

        Saat ini, tren dan standar hidup adalah siksaan jika tak lihai mengontrol diri. Tapi tak mengikuti hal-hal tersebut juga bisa berarti ketertinggalan yang mengganggu kepercayaan diri. Kuncinya mungkin ada di saku kita masing-masing dan tetap selalu punya pilihan atas hidup kita sendiri. Tak ada ukuran apapun bagaimana hidup ini patutnya dijalani. Setiap orang adalah individu yang merdeka dan memiliki strategi untuk mengolah perasaan mereka dengan caranya sendiri.

        Mungkin bagi sebagian orang terutama mereka yang berumur 27 tahun ke atas, mengisi hari libur dengan mengunjungi perpustakaan lalu ke bioskop sendirian adalah kegiatan yang buang-buang waktu. Tapi bagiku, mengambil waktu-waktu sendiri adalah juga hal yang tak kalah penting. Kini hari libur telah berlalu dan aku tak menganggap hari minggu adalah kebebasan karena hari yang panjang adalah hari sabtu.

(Ditulis beberapa saat sebelum sahur)

 


Komentar

Postingan Populer