aku serupa api yang terlepas dari neraka dan aku membakar habis diriku sendiri.

Sebuah refleksi,

            Pada malam sebelum tanggal tiga Mei, tanggal menjelang hari ulang tahunku, aku berkendara keliling kota. Sendirian dan berharap melepas segala beban, meski sebenarnya tak ada yang pernah terlepas sama sekali setelah kau mengenalnya, termasuk kecemasan. Aku berharap menemukan tempat menyendiri sembari memesan dua atau tiga gelas kopi. Kopi Kebun dan Koin Coffee bagiku terlalu ramai malam ini, hingga keduanya kuskip. Aku mengunjungi kedai kopi yang lain, namun sama saja. Rasanya tak ada yang menarik, padahal aku benar-benar ingin menikmati malam ini. Ingin merenung dan mengevaluasi diri setahun terakhir diumur yang beberapa jam lagi menginjak sekian tahun. Apakah aku sudah tak muda lagi? Sebenarnya aku takut menjadi tua. Apalagi jika menua dan menjadi orang yang berbeda bagi diriku sendiri. Apakah begini rasanya hidup sebagai Rudi? Bagaimana jika aku orang lain yang menjalani hidup hari ini? Bagaimana dengan rudi-rudi yang lain di belahan dunia yang berbeda? Apakah lebih baik atau lebih buruk?

       Kedai kopi di kota ini benar-benar tak terhitung banyaknya, membuatku bingung memilih salah satunya. Tak banyak yang kuharapkan pada umur sekian tahun ini. Namun yang pasti aku bersyukur mendapati diriku hari ini. Bersyukur memiliki orang-orang yang menanti kabar atau  menanti segala hal yang membuatku berarti dan dimiliki. Bersyukur memiliki diri, memiliki Rudi yang kucintai. Dan aku ingin selalu seperti ini, sehat atau sakit sesekali tak mengapa, karena ada banyak rencana yang telah dimulai. Jika tanggung jawab membuat manusia kuat, maka kuatkanlah. Jika keterbatasan yang menyempurnakan, maka sempurnakanlah, maka utuhkanlah segala kekuranganku.

     Lalu kepada semua orang yang mengenalku atau katakanlah seperti ini; tak ada yang pernah benar-benar mengenalku dengan baik atau tak ada manusia yang pernah saling mengenal dengan baik. Terkadang aku merasa asing dengan diriku sendri, dengan semua orang. Namun aku tak pernah berpura-pura. Bagiku, hanya kejujuran yang aku miliki, karena hanya kejujuran yang tak bisa dirampas oleh siapapun. Kejujuran membuatku bertahan dalam dunia yang rapuh, dunia yang rentan akan perubahan. Perubahan membuatku berani dan aku selalu menerimanya sekuat tenaga. Setiap hari, udara yang kita hirup, senyuman yang kau jumpai di jalan, langit pagi yang menyambut harapan dan apapun yang kau anggap milikmu, semua selalu berubah. Tak ada yang pernah sama lagi ketika kau menemuinya kembali. Untuk itulah rasa percaya dan harapan diturunkan ke bumi. Mendampingi manusia-manusia yang rapuh sepertiku.

              Membeli sebungkus rorok utuh adalah hal yang langka bagiku. Tapi malam ini, aku ingin merebut diriku kembali. Sebelum terlalu jauh terbawa hiruk-pikuknya kota yang telah menjadi bagian diriku, meski terkadang begitu asing pada malam-malam ketika aku terbangun sendirian. Beberapa batang rokok telah luluh menjadi abu, menjadi asap yang menyatu dan membumbung menjadi pertunjukan sunyi di ruangan ini. Aku duduk sendirian tepat di hadapan mata jendela. Kutarik kopiku dalam-dalam, kugoreskan pena jauh kesuatu tempat di dalam rumah di kampung halaman. Inilah aku. Inikah yang aku cari tiga tahun lalu? Inikah jawaban doa dalam puisi-puisiku dahulu?

              Aku seperti api yang terlepas dari neraka. Aku tak bisa membedakan antara menerangi atau membakar habis diriku sendiri (?) Aku seperti malam-malam yang ditinggal sendirian. Terjaga atau tidaknya aku di malam hari, kota ini tetap melahapku saat pagi dan memuntahkanku kembali pada jam-jam yang macet di sore hari. Aku seperti remaja tanggung yang patah hati, dunia terkadang terasa begitu sulit untuk dimengerti dan begitu tak adil untuk dimaklumi. Untuk segala cemas dan mimpi-mimpi, segalanya ku genggam hari ini. Meski terkadang begitu membingungkan, hidup ini layak untuk dilanjutkan, bukan?

Komentar

Postingan Populer